DURI
KEHIDUPAN
Gelegar
halilintar malam itu mengejutkan ku. Seperti amukan raksasa tanpa henti. Memekakkan
telingaku sampai ke bagian paling dalam. Rentetan kata-kata yang keluar dari
mulut mereka. Tak henti di lontarkan dengan emosi jiwa.
Tak
henti air bening itu mengalir di pipi gadis kecil yang belum paham tentang
dunia yang di tempatinya. Berharap halilintar itu segera berlalu dan berganti
dengan bumi yang terang dan ceria yang akan meresap kemimpinya.
Sekarang
di desa itu hanya tinggal puing-puing. Setelah kebakaran melanda hutan kami
yang indah ini, kami seperti kehilangan harapan untuk hidup lebih lama. Tapi,
sesudah itu ada lagi bencana yang aku dapatkan. Orang-orang yang aku sayangi
telah termakan api yang berkobar yang membakar tanpa rasa iba.
“Tidak!!!..........”
hanya itu yang bisa ku keluarkan dari bibir yang sepertinya ingin membisu
selamanya. Orang tua dan adik-adikku telah tiada. Begitu juga gadis kecil yang
kulihat. Kami sama-sama sebatang kara.
Hari
telah berganti tahun. Aku yang sekarang menjadi seorang istri anggota SAR
mengandung benih cinta yang kami sayang.
Gadis
kecil yang kulihat dulunya, sekarang menjadi anak angkat aku dan mas Tio. Putri
namanya, walaupun bukan anak kandung, tetapi kami dangat menyayanginya. Lucu
bila mengingat kisah cintaku dengan mas Tio. Gak ada yang menduga, seorang mas
Tio mau dengan gadis kampung yang tak pernah duduk di bangku sekolah.
Hari
itu dia datang sebagai relawan untuk
penyaluran bantuan di desa kami. Aku dan
gadis kecil itu hanya duduk di dekat puing rumah yang sudah habis terbakar
waktu. Dua hari kami menahan lapar, barulah datang bantuan. Tak ada yang
perduli dengan seorang gadis dan gadis kecil itu. Hanyalah Tio yang datang dan
memberikan semangat pada kami. Semangat untuk melanjutkan hidup yang harus di
syukuri ini.
Satu
minggu kami bersahabat dengan mas Tio. Walaupun hati seperti tercabik duri, kami
tetap mencoba bertahan. Berkat Mas Tio. Tanpa ku sangka, mas Tio yang ku anggap
seperti abang kandungku sendiri. Melamarku sebelum pulang ke kampungnya. Aku kaget bukan
kepalang.
Tapi
gadis kecil itu menyuruhku untuk menerima lamarannya. Aku tidak punya pilihan lain. Apalagi kami hanya
sebatang kara. Besoknya kami menikah dan mengangkat Putri sebagai anak. Aku pun
baru tau kalau mas Tio juga tidak mempunyai keluarga alias sebatang kara.
Itulah
kehidupan yang telah digariskan tuhan kepada ku. Tak di sangka dan di duga itulah
hikmah dari kesengsaraan yang kami rasakan. Orang yang berlatar belakang sama, di
pertemukan dalam ikatan keluarga. Tak ada satupun peninggalan dari keluarga ku
yang tersisa, hanya duri di hati, yang ku rasakan. Kehilangan keluarga yang ku
cintai. Tiap hari datang ke mimpiku, wajah-wajah yang telah hilang di lalap api
itu. Kini jadi bunga tidurku.
Mungkin
itu obat yang di berikan Tuhan untukku. Kini di gantikan surya yamg terang saat
kubuka mata dan tersadar mas Tio dan Putri di sampingku. Ya,keluarga baru ku.
“TAMAT”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar