Sabtu, 27 Februari 2016

Duri Kehidupan

DURI KEHIDUPAN

Gelegar halilintar malam itu mengejutkan ku. Seperti amukan raksasa tanpa henti. Memekakkan telingaku sampai ke bagian paling dalam. Rentetan kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Tak henti di lontarkan dengan emosi jiwa.
Tak henti air bening itu mengalir di pipi gadis kecil yang belum paham tentang dunia yang di tempatinya. Berharap halilintar itu segera berlalu dan berganti dengan bumi yang terang dan ceria yang akan meresap kemimpinya.
Sekarang di desa itu hanya tinggal puing-puing. Setelah kebakaran melanda hutan kami yang indah ini, kami seperti kehilangan harapan untuk hidup lebih lama. Tapi, sesudah itu ada lagi bencana yang aku dapatkan. Orang-orang yang aku sayangi telah termakan api yang berkobar yang membakar tanpa rasa iba.
“Tidak!!!..........” hanya itu yang bisa ku keluarkan dari bibir yang sepertinya ingin membisu selamanya. Orang tua dan adik-adikku telah tiada. Begitu juga gadis kecil yang kulihat. Kami sama-sama sebatang kara.
Hari telah berganti tahun. Aku yang sekarang menjadi seorang istri anggota SAR mengandung benih cinta  yang kami sayang.
Gadis kecil yang kulihat dulunya, sekarang menjadi anak angkat aku dan mas Tio. Putri namanya, walaupun bukan anak kandung, tetapi kami dangat menyayanginya. Lucu bila mengingat kisah cintaku dengan mas Tio. Gak ada yang menduga, seorang mas Tio mau dengan gadis kampung yang tak pernah duduk di bangku  sekolah.
Hari itu dia datang sebagai  relawan untuk penyaluran  bantuan di desa kami. Aku dan gadis kecil itu hanya duduk di dekat puing rumah yang sudah habis terbakar waktu. Dua hari kami menahan lapar, barulah datang bantuan. Tak ada yang perduli dengan seorang gadis dan gadis kecil itu. Hanyalah Tio yang datang dan memberikan semangat pada kami. Semangat untuk melanjutkan hidup yang harus di syukuri ini.
Satu minggu kami bersahabat dengan mas Tio. Walaupun hati seperti tercabik duri, kami tetap mencoba bertahan. Berkat Mas Tio. Tanpa ku sangka, mas Tio yang ku anggap seperti abang kandungku sendiri. Melamarku  sebelum pulang ke kampungnya. Aku kaget bukan kepalang.
Tapi gadis kecil itu menyuruhku untuk menerima lamarannya. Aku  tidak punya pilihan lain. Apalagi kami hanya sebatang kara. Besoknya kami menikah dan mengangkat Putri sebagai anak. Aku pun baru tau kalau mas Tio juga tidak mempunyai keluarga alias sebatang kara.
Itulah kehidupan yang telah digariskan tuhan kepada ku. Tak di sangka dan di duga itulah hikmah dari kesengsaraan yang kami rasakan. Orang yang berlatar belakang sama, di pertemukan dalam ikatan keluarga. Tak ada satupun peninggalan dari keluarga ku yang tersisa, hanya duri di hati, yang ku rasakan. Kehilangan keluarga yang ku cintai. Tiap hari datang ke mimpiku, wajah-wajah yang telah hilang di lalap api itu. Kini jadi bunga tidurku.
Mungkin itu obat yang di berikan Tuhan untukku. Kini di gantikan surya yamg terang saat kubuka mata dan tersadar mas Tio dan Putri di sampingku. Ya,keluarga baru ku.




“TAMAT”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar